Entah mengapa, saya suka sekali dengan puisi. Membaca puisi-puisi karya orang lain adalah kegiatan yang paling saya suka. Jika puisi tersebut dapat meyentuh perasaan, saya akan membacakan puisi tersebut dan merekamnya. Meskipun bukan pembaca puisi yang baik, saya cuek saja. hehehe...
Ada dua puisi yang begitu saya suka sampai saat ini, Meja Makan dan Ketika Sakit. Puisi karya Arif Rizki ( orang yang saya panggil abg saya ) selalu menyentuh. Begitu indah dan mengalir. Saya ingat benar, teman saya yang bernama Sherly pernah bertanya kepada abg arif, apa setiap kita membuat puisi, kita perlu memberikan penjelasan tentang maksud dari puisi tersebut? Dan ternyata tidak perlu. Biarkan saja orang mengartikan sendiri apa maksud dari puisi tersebut. Itulah puisi.
#Meja Makan
ketika tiba-tiba kita sadari betapa luas meja di hadapan
mungkin perasaanmu saja, atau perasaanku saja
kurasa meja ini seperti itu-itu saja dari dulu
tapi mengapa kini ia menjadi lebar dan menyulitkan
tangan kita untuk sepiring dan saling menyuapkan
aku kehilangan diriku yang jatuh cinta kepada dirimu yang kehilangan cara untuk menyihirku dengan matamu yang kerap membuat kita percaya bahwasanya cinta benar-benar bersarang pada mata seperti burung-burung yang mengitari kepala kita ketika dengan tiba-tiba kau tertawa lepas seperti ombak buas ketika aku menceritakan kisah-kisah tentang hati yang takut memisah
; kita kehilangan semua cara mengingat itu
kini meja yang lebar ini seperti lapangan golf saja.
aku mesti menggunakan mobil mini untuk sampai padamu
walaupun tak pernah benar-benar sampai
--seperti halnya dirimu yang juga merasa ada yang bercerai berai
di meja makan, kita kehilangan cara mengingat itu
kita kehilangan kawanan burung
kita lupa cara menatap mata
kita merasa piring ini semakin kecil saja
lalu entah apa, kita tak suka dengan kata-kata
2010
#Ketika Sakit
Mungkin karena rumah bisa menerima dirimu yang sakit. Rumah yang lengkap dengan perawat yang walaupun judes dan cerewet, tapi ia memiliki tangan yang merawat—tangan yang cinta, yang tak lain adalah perempuan yang kau panggil ibu.
Hanya ia yang mengijinkan kau untuk sakit sepuas hatimu.
Rumah memberimu tempat yang lapang untuk menangis dengan tenang
Kau boleh berguling dan melompat girang
Ketika ayah pulang membawa tablet hisap untuk demam
Dan mengendongmu ke kamar mandi belakang
Membuatkan air manis untuk penawar obat yang pahit masam
Dan membelikan mainan agar kau cepat sembuh dari sakit yang meradang
Rumah membolehkanmu jadi kanak-kanak selamanya
Tanpa menuntutmu untuk menjadi pendekar yang dewasa
Ketika kau sakit, rumah mendatangkan segalanya kembali
Kau bisa menikmati dirimu untuk dipanggil dengan nama kecilmu lagi.
Ia pinjamkan baju, celana dan buku cerita yang pernah kau cintai
Melebihi dirimu sendiri
Ketika sakit, entah mengapa kau menjadi rindu dengan ibu
—si perawat hidup yang cerewet itu. Dan juga dengan ayah—lelaki nyinyir, si pecinta nomor satu.
Kau dapati dirimu yang rindu diberi kompres dengan bekas kerudung ibu
Kau rindu ingusmu dihapus oleh tangan ayah yang dimatangkan waktu
Tak ada yang patut kau takutkan di dunia ini jika sudah begitu
Ketika sakit, entah mengapa kau tak ingin dunia tahu
Kecuali rumahmu yang jauh
Dan semua yang ada di bawah naung atap itu
Bukittinggi, 2009
Posting Komentar